Menamatkan Novel Supernova

Kresna Galuh D. Herlangga
7 min readJun 23, 2017

--

Sudah lama sekali rasanya saya nggak baca novel. Sebelumnya, terakhir kali saya baca novel adalah karya-karyanya Dan Brown, dan yang terakhir saya baca adalah Inferno. Itu sekitar 3 tahun yang lalu mungkin. Setelah itu nggak pernah baca novel lagi karena sibuknya pekerjaan dan memang sedang malas membaca.

Terkait novel, saya termasuk penyuka novel dengan genre misteri atau fantasi. Novel-novel yang pernah saya baca biasanya berkisar di genre itu. Seri Dan Brown mulai dari Da vinci Code sampai Inferno sudah saya khatamkan. Beberapa novel karya Sir Arthur Conan Doyle, Sherlock Holmes juga sudah saya khatamkan. Dan beberapa novel lainnya yang bahkan saya sudah pada lupa judulnya.

Tapi kalau dibilang saya hobi membaca novel mungkin saya bilang nggak juga. Karena saya baca novel jika hanya memang saya rasa novel-novel tersebut sangat menarik bagi saya dan lebih penting lagi kalau saya lagi mood buat baca novel. Kata orang novel Harry Potter menarik, tapi entah kenapa saya nggak tertarik, jadi nggak saya baca. Pun demikian orang-orang pada heboh dengan novel Ayat-ayat Cinta, saya malah nggak tertarik. Jadi bisa dibilang saya sebenernya bukan penikmat novel sejati. Saya hanya baca novel kalau saya mau aja.

Kendati demikian, saya adalah seorang penulis (walaupun baru penulis media online), ketika saya membaca novel saya benar-benar akan berusaha mengapresiasi habis-habisan terhadap apa yang saya baca. Jika orang mungkin hanya fokus pada isi cerita, tidak dengan saya. Saya perhatikan banyak hal yang mungkin orang nggak perhatikan ketika baca novel, misalnya bagaimana sang penulis menggambarkan kejadian demi kejadiannya, bagaimana penulis menyusun alur cerita, memposisikan sudut pandang, pemilihan kata dan lain sebagainya. Dan itulah cara saya menikmati sebuah novel. Tidak hanya mengikuti isi cerita.

Ketertarikan saya dengan novel Supernova adalah bermula dari diskusi saya tentang dimensi kehidupan manusia bersama sahabat saya, Adli. Kami berdiskusi tentang bagaimana seandaianya dimensi manusia itu seperti ini dan seperti itu, bagaimana jika kehidupan manusia itu seperti ini dan seperti itu. FYI, Adli adalah sahabat saya sejak di pesantren (SMA). Ya, kami memang dua orang gila yang suka diskusi tentang hal-hal aneh dan absurd sejak dulu. Dan dari diskusi tentang dimensi kehidupan manusia itu saya menemukan sudut pandang baru dari yang disampaikan Adli, bagaimana konsep kesadaran manusia. Saya sangat tertarik dengan konsep itu. Dan ternyata dia kemudian mengeluarkan sebuah buku dari kamarnya, GELOMBANG. Sebuah buku dengan sampul sangat sederhana dengan lambang aneh berwarna orange seperti lambang-lambang di digimon yang memberi kesan misterius. Oh ya kami kebetulan berdiskusi di rumahnya.

Adli bilang “Lo baca ini deh, seru. Banyak konsep menarik yang bakal lo temuin. Ini buku nomor 5 dari seri Supernova. Tapi nggak masalah, nggak harus dari nomor 1″. Kebetulan emang saya lagi butuh bacaan baru, lagi bosen dengan buku-buku motivasi dan bisnis. Maka mulailah saya membaca GELOMBANG.

Benar kata Adli, ketika saya membacanya saya mendapatkan banyak hal menarik di dalamnya. Saya mengenal budaya orang Medan (ehem… bisa pas gini), lebih tepatnya Batak sih. Bagaimana kehidupan di sana, agama leluhurnya dan lain sebagainya. Yang paling menarik adalah konsep dimensi mimpi yang dialami oleh sang tokoh utama yang bernama Alfa Sagala. Bagaimana Alfa yang merupakan antitesis manusia pada umumnya yang membutuhkan waktu tidur minimal 4 jam sehari, Alfa adalah insomnia sejati, yang selama 12 tahun nggak bisa tidur lebih dari 1 jam dan sangat takut dengan tidur.

Ketika membaca GELOMBANG, saya dapati alur ceritanya sangat lambat, bahkan di tengah-tengah saya sempat merasakan kebosanan karena lambatnya alur cerita. Karena biasanya saya suka novel yang alur ceritanya cepat dan penuh misteri. Tapi overall, saya sangat suka dengan ide ceritanya, menurut saya sangat menarik. Hal yang saya suka selain ide ceritanya adalah diksinya. Bagaimana sang penulis yakni Dee Lestari memilih kata-kata dan menyusun kalimat, membuat saya sangat menikmatinya.

Ending klimaksnya juga terbilang cukup oke. Karena sukses membuat saya penasaran apa yang terjadi selanjutnya kepada Alfa Sagala. Dan titik ini pula lah yang membuat saya memutuskan untuk membaca seri Supernova lainnya.

Akhirnya saya beli semua novel Supernova dari awal sampe yang terakhir, karena penasaran setelah baca GELOMBANG.

Novel Supernova Lengkap

Setelah membaca GELOMBANG, saya punya ekspektasi semua novel Supernova akan memiliki format yang serupa baik ide bahasan alur dan lain sebagainya yang membuat saya menikmati membacanya seperti saya membaca GELOMBANG. Tapi ternyata dugaan saya salah. Ketika saya mulai membaca Kesatria, Putri & Bintang Jatuh, novel pertamanya, ekspektasi saya dihancurkan berkeping-keping. Di luar dugaan saya, ternyata novel pertama Supernova isinya novel cinta, jenis novel yang saya kurang suka. Kendati sepanjang membaca novel ini saya nggak bisa menikmati isinya, tapi tetap saya baca, karena saya punya harapan di seri selanjutnya bisa menjadi menarik lagi seperti GELOMBANG. Ya, saya sudah terlanjur punya harapan terlalu besar seperti GELOMBANG. Bagi saya novel Kesatria, Putri & Bintang Jatuh itu seperti sinetron yang sedikit dibungkus dengan istilah-istilah sains. Malah saya merasa, seandainya saya mulai membaca dari novel Kesatria, Putri & Bintang Jatuh, kemungkinan besar saya nggak akan tertarik untuk baca seri selanjutnya. Saya bersyukur memulai dari GELOMBANG.

Untung saja rasa kecewa saya sedikit terobati di novel AKAR. Membaca AKAR, saya mulai bersemangat lagi, terutama ketika mulai membaca tentang keunikan tokoh utama yang bernama Bodhi yang bisa melihat sesuatu yang nggak bisa dilihat manusia umumnya. Juga alur cerita yang berfokus pada dunia punk dan jalanan, itu sangat menarik buat saya karena saya bisa melihat sudut pandang baru darinya. Kekurangan dari AKAR adalah klimaks yang tidak jelas. Bagi saya klimaks untuk seri AKAR ini agak fail. Untung saja di akhir cerita mulai diungkap kembali ke cerita utama yang sedikit membuat penasaran. Juga, lagi-lagi karena saya masih penasaran dengan GELOMBANG, saya jadi bersemangat untuk baca seri selanjutnya. Tapi overall untuk AKAR cukup lumayanlah, saya bisa menikmatinya lagi, walaupun belum sekeren GELOMBANG.

PETIR juga cukup menarik, terutama karena tokoh utama punya kekuatan bisa mengeluarkan listrik. Tapi sekali lagi alurnya terlalu lambat dan klimaksnya yang kurang berkesan. Saya malah nggak bisa menemukan dengan pasti di sebelah mana posisi klimaks utamanya? Ada beberapa kejadian yang memang cukup menjadi bifurkasi, namun menurut saya belum bisa menjadi sebuah klimaks, atau mungkin memang sengaja dibuat seperti itu. Yang bikin menarik dari PETIR bagi saya adalah karena ada tema listrik.

Masuk ke PARTIKEL kembali bertambah menarik, saya bisa lihat sudut pandang baru di sini dari karakter utama Zarah. Dalam beberapa hal di novel PARTIKEL ini sebenernya saya kurang suka karena sepintas menunjukan keluarga muslim itu keluarga yang sangat kaku dan nggak boleh berpikir, padahal muslim yang baik itu seharusnya sering bertadabur. Tapi saya cukup menikmati pencarian Zarah dalam memaknai dirinya sendiri. Dan yang menarik lainnya, mulai di sinilah semuanya terlihat sedikit bocoran gambaran besarnya. Yang bikin saya kurang nyaman di PARTIKEL adalah porsi ketika Zarah berada di Kalimantan itu terlalu panjang, yang menurut saya bisa dibuat lebih singkat, karena seperti plot yang tidak perlu. Bagi saya pada bagian dimana Zarah berada di Kalimantan itu seperti Dee Lestari ingin berbagi pengetahuannya tentang orang utan yang dimilikinya. Tapi ya, PARTIKEL ini, saya bisa menikmatinya. Jauh lebih renyah dari Kesatria, Putri & Bintang Jatuh, AKAR dan PETIR.

Dan untung saja, seri terakhir atau seri pamungkas cukup berhasil mengobati dahaga saya selepas GELOMBANG. Rasa penasaran saya dari GELOMBANG akhirnya mulai terjawab di sini. Saya bisa bilang dari 1–5, yang terakhir Inteligensi Embun Pagi inilah yang terbaik. Kesabaran saya membaca dari awal cukup terbayar. Di novel terakhir ini pula, plotnya mengalir sangat alami, tidak terlalu lama dan tidak juga terlalu terburu-buru. Sayangnya memang endingnya kurang seperti yang saya harapkan (bukan buruk), jagoan saya Alfa Sagala malah mati. Tapi itu hak penulis untuk membawa kemana arah cerita. Tapi seharusnya diakhir sedikit dijelaskan tentang keadaan keluarga Alfa yang menunggu Alfa pulang. Soalnya semua teman-teman lainnya diceritakan bagaimana kelanjutan kisahnya, tapi nggak dengan Alfa. Mudah-mudahan Dee Lestari nggak lupa, tapi sedang mempersiapkan sesuatu yang menarik untuk seri selanjutnya.

Terlepas dari semua alur cerita dan ide cerita di seri Supernova ini, yang paling saya kagumi dari tulisan Dee Lestari adalah kemampuannya dalam pemilihan kata (diksi) dan merangkainya menjadi kalimat yang renyah. Bahkan untuk sebuah plot yang sedang berlangsung membosankan secara cerita, gaya bahasa Dee Lestari mampu membuat membaca tulisannya menjadi sangat renyah. Dalam hal ini, saya benar-benar mengapresiasi habis-habisan. Sebagai seorang penulis juga (masih level ikan teri), saya sangat sadar betul, bahwa untuk bisa memiliki kemampuan merangkai kata seperti itu nggak gampang. Entah sudah berapa ratus buku yang telah dibaca oleh Dee Lestari, entah berapa orang yang pernah diajak bicara olehnya. Kemampuan merangkai kata seperti itu hanya bisa dimiliki oleh orang yang benar-benar memiliki input yang luar biasa terhadap kosa kata.

Buat saya, yang paling penting sebenarnya dari menamatkan seri Supernova ini adalah saya telah memulai program pembiasaan membaca saya. Setelah sekian lama saya malas membaca, sekarang saya jadi mulai hobi membaca kembali. Dan saya menjadi lebih pede untuk membaca buku. Bagaimana tidak, ternyata saya mampu menamatkan seri Supernova yang setebal ini hanya dalam waktu 2 bulan kurang lebih di tengah kesibukan kerja. Bahkan untuk buku terakhir, Inteligensi Embun Pagi, buku setebal 700 halaman saya tamatkan hanya dalam waktu 2 hari. Mudah-mudahan dengan ini, saya tidak akan gentar lagi dengan buku-buku tebal semisaln buku Sirah Nabawiyah karangan Prof. Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad yang tebalnya luar biasa 1107 halaman.

Dan terakhir, seandainya ada lanjutan dari seri Supernova, saya pastikan akan membacanya :D

--

--

Kresna Galuh D. Herlangga
Kresna Galuh D. Herlangga

Written by Kresna Galuh D. Herlangga

Founder CODEPOLITAN, Inisiator Madrasah Digital, Kominfo PP Pemuda Persatuan Islam

Responses (1)